Tiba-tiba
saja, terkilas dalam ingatan saya sewaktu saya kecil disebuah dusun di mana
infrastuktur hanya ada sekolah, desa, kecamatan, masjid, pasar tradisional,
pasar yang bukanyapun hanya dua kali dalam seminggu tapi yang saya ceritaka
sekarang bukan kaitan dengan infrasturktur, namun sebuah pengalaman, yang
sekarang saya coba renungi…
Kedua
orang tua saya guru, Bapak saya guru SMP dan ibu saya seorang guru SD, saya
lima saudara, saya anak sulung punya adik empat orang. Ketika itu ada semacam
stigma, bahwa kalau menjadi anak seorang guru, di sekolah harus menjadi seorang
“bintang pelajar” artinya harus memiliki prestasi belajar yang baik… Hal ini
membuat saya dan adik-adik saya berlomba untuk meraih prestasi tersebut.
Walaupun terutama saya kadang-kadang terasa menjadi “beban” karena harus
belajar dan belajar sepulang sekolah walaupun ga ada “PR” harus tetap belajar, “terpaksa
kami lakukan ini karena dari kedua orang tua saya suka ada “supervisi” kalau
kami tidak belajar, suka ada “ganjaran” bagi kami berupa hukuman misalnya kami
tidak boleh ikut serta dalam kegiatan-kegiatan wisata yang diselenggarakan oleh
sekolah setiap tahunnya.
Beruntung
kami waktu itu sedang berlangganan majalah Si Kuncung dan majalah Intisari,
adik saya majalah Bobo. Majalah-majalah tersebut sifatnya langganan membaca
saja bukan langganan sebagaimana layaknya berlangganan yang kalau sudah dibaca
menjadi milik sendiri, karena ini majalah yang harus kami loperkan ke pelanggan
sesungguhnya karena kami hanya sebagai media (sub agen) atau loper bahan bacaan
tersebut.
Majalah-majalah
ini menjadi penawar kami ketika kami “malas belajar” walaupun hanya sesaat
karena harus segera diantarkan kepada pelanggan, yang penting di mata orang tua
saat itu kami seperti belajar dan ada kegiatan membaca.
Kegiatan
membaca kami yang rutin saat itu hanya buku pelajaran “paket” yang cenderung
membosankan, sehingga kegiatan membaca yang kami lakukan yang terkait
pelajaran-pelajaran di sekolah kalaupun ada buku fiksi itu pun yang terkait
mata pelajaran Sastra Indonesia, buku-bukunya milik guru Bahasa Indonesia
dengan jumlah buku dapat dihitung dengan jari sehingga kami sebagai murid dapat
membaca buku tersebut secara kelompok dan bergiliran, belum lagi di batas
waktunya hanya sebentar. Sama sekali belum ada perpustakaan, mendengar yang
namanya perpustakaanpun sangat jarang.
Di
rumah kami memang banyak buku-buku, pada saat itu hanya buku-buku agama seperti kitab suci
Al-Quran, buku-buku Hadits, buku-buku fiqih yang merupakan referensi kedua
orang tua saya yang pada saat itu beliau memberikan materi di pengajian atau
sekolah agama di Masjid.
Seiring
dengan waktu apakah karena adanya kesadaran masyarakat terhadap perubahan nilai
dan kepedulian pemerintah?. Entahlah saya masih bingung, apakah adanya kesadaran
masyarakat terhadap kebutuhan informasi ? Kalau jawabannya ya, masih banyak
perpustakaan yang ada kurang diberdayagunakan walaupun indikator perpustakaan
kurang berdaya guna dilatar belakangi banyak hal misalnya apakah koleksi
perpustakaannya belum sesuai kebutuhan masyarakat? Apakah sosialisasinya kurang
dikenal masyarakat? Atau memang minat baca masyarakat rendah ? Demikian pula
apabila kepedulian pemerintah meningkat mudah-mudahan keberadaan perpustakaan
di tengah-tengah masyarakat dapat dijadikan wahana belajar masyarakat sepanjang
hayat…
Disisi
lain kita akui ya, sudah ada kepedulian pemerintah, peran serta dunia usaha dan
peran serta masyarakat terhadap perpustakaan walaupun belum merata dan belum
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas, hal ini dilatar belakangi oleh karena
masih adanya keterbatasan.
Namun
setidaknya perpustakaan kini relatif sudah dekat dengan masyarakat, kita tahu
sekarang sudah ada perpustakaan umum Provinsi, Kab/Kota sampai ke desa yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah demikian pula di lingkungan Satuan
Pendidikan sudah ada perpustakaan SD sampai SMA dan sederajat,
perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi serta perpustakaan instansi bahkan
banyak pula perpustakaan yang didirikan oleh masyarakat dengan peran serta
dunia usaha seperti Taman Bacaan Masyarakat, sanggar baca dan nama lainnya.
Beruntung
yah anak-anak zaman sekarang dapat dengan mudah datang ke perpustakaan tinggal keinginan yang
sungguh-sungguh mau memanfaatkan perpustakaan. Perpustakaan tentu saja bukan
hanya gudang buku, melainkan wahana
penyedia informasi yang terkonsep secara ilmiah sehingga memberikan peran
strategis bagi pencerdasan dan pencerahan.
Lantas
apabila kondisi saat ini masih terindikasi indeks membaca masyarakat masih
rendah, dimana yah salahnya??? Biarkan masalah ini kita serahkan kepada pihak
yang kompeten untuk mengkaji lebih jauh lagi sehingga hasil kajian tersebut dapat
diketahui hambatan-hambatan serta solusinya agar indeks membaca masyarakat
meningkat.
Semoga
dengan semakin dekatnya perpustakaan dengan masyarakat dapat membantu
masyarakat yang membutuhkan berbagai ragam informasi. Saat ini dirasa harga
bahan bacaan relatif mahal, tentunya dengan didukung oleh bahan bacaan yang
variatif layanan perpustakaan yang mudah dan murah dapat dijadikan solusi
sehingga masyarakat lebih mencintai perpustakaan..
AYO…
KE PERPUSTAKAAN !